Sejarah Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Proklamasi 17 Agustus merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai Presiden pertama, sekaligus tokoh yang turut andil dalam menyatukan bangsa, Sukarno menjadi sosok yang dominan bagi seluruh elemen kehidupan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia melihatnya sebagai sosok negarawan yang tegas dan penuh dedikasi. Salah satu bentuk ketegasannya adalah berani melakukan konfrontasi untuk melawan pembentukan Negara Federasi Malaysia.

Penyebab Perseteruan Dua Negara

Hubungan Indonesia dan Malaysia diibaratkan sebagai hubungan "Kakak-Adik". Dalam beberapa waktu, kedua negara ini bisa menjalin kerjasama yang baik, tapi di lain waktu juga sering terlibat konflik. Salah satu konflik yang tercatat dalam sejarah adalah konfrontasi Indonesia-Malaysia yang terjadi di era pemerintahan Presiden Sukarno pada tahun 1963-1966.

Pada awalnya, Indonesia menyambut baik kemerdekaan Malaya pada 31 Agustus 1957. Tapi berita kemerdekaan ini juga diiringi dengan munculnya rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia, yang bertujuan untuk menyatukan wilayah Brunei Darussalam, Singapura, Malaya, dan Kalimantan Utara (Sabah dan Serawak) dalam satu federasi. Rencana ini juga didukung Inggris, karena mereka membutuhkan Singapura sebagai tempat pertahanan militernya. Sementara Indonesia dan Filipina menentang keras, karena Sukarno menganggap Federasi Malaysia ini adalah proyek Kolonialisme Inggris yang bisa mengganggu dan membahayakan wilayah Indonesia.

Sebelum rencana pembentukan negara federasi ini berlanjut, Indonesia dan Filipina mengadakan pertemuan dengan pemimpin Persekutuan Tanah Melayu pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Perundingan ini menghasilkan "Deklarasi Manila", yang menyatakan bahwa ketiga negara sepakat akan mengadakan jajak pendapat di wilayah Sabah dan Serawak, untuk meminta persetujuan apakah rakyatnya setuju untuk bergabung dengan Federasi Malaysia. Namun Inggris sering membatasi pergerakan tim khusus PBB dan membuat perhitungan suara menjadi tidak maksimal.

Saat perhitungan suara belum mencapai titik akhir, Malaysia melanggar perjanjian. Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Indonesia langsung merespon keputusan tersebut dengan memutus hubungan diplomatiknya dengan Malaysia pada 17 September 1963. Presiden Sukarno juga memperkenalkan slogan "Ganyang Malaysia" sebagai bukti bahwa rakyat Indonesia menolak adanya Federasi Malaysia. Mulai saat itu, kakak dan adik ini terlibat perseteruan. (Kusmayadi, 2017).

Satuan Operasi Bernama Dwikora

Sukarno terus menggaungkan kampanye "Ganyang Malaysia" dalam setiap pidatonya. Sampai kemudian pada 3 Mei 1964, Sukarno mengumumkan pembentukan satuan operasi yang ia beri nama Dwikora (Dwi Komando Rakyat). Sukarno menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya Dwikora ini bukan untuk melawan rakyat Malaysia, melainkan untuk menggagalkan rencana pembentukan negara boneka Inggris dan mengusir Kolonialisme Inggris dari tanah Melayu.

Untuk memperlancar jalannya Operasi Dwikora, Indonesia melibatkan seluruh kekuatan angkatan bersenjata, dan juga dibantu oleh para sukarelawan yang berasal dari kalangan Mahasiswa dan rakyat sipil. Mereka akan diterjunkan untuk mengintai wilayah perbatasan antara Kalimantan Utara dan Semenanjung Malaya. Kehadiran para sukarelawan sangat menguntungkan Indonesia karena mereka bisa memberikan informasi awal mengenai keadaan penduduk di perbatasan, sebelum para angkatan bersenjata diturunkan.

Para angkatan bersenjata yang diturunkan akan melepas identitasnya dan menyamar menjadi rakyat sipil. Hal ini dilakukan untuk menghapus jejak Indonesia dalam operasi ini dan membuat Indonesia aman dari ancaman politik luar negeri.

Perjalanan Panjang Operasi Dwikora

Setelah beberapa waktu melakukan pengintaian, Indonesia akhirnya menurunkan satu batalyon tentara dan sukarelawan di perbatasan Kalimantan Utara pada 30 Mei 1964. Disana mereka terlibat kontak senjata dengan pasukan Federasi Malaysia. Sementara itu, batalyon lain yang diturunkan di wilayah Tawao berhasil menewaskan banyak pasukan Inggris. Pada 17 Agustus dan 2 September 1964, pasukan terjun payung juga ikut melakukan pendaratan di wilayah Johor dan Pontianak. (Irshanto, 2019).

Tentara Malaysia tidak tinggal diam, mereka juga menurunkan pasukan ke pos perbatasan. Misi utama mereka adalah mencegah masuknya pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia. Inggris dan Australia ikut membantu dengan menurunkan pasukan khususnya yang bernama Special Air Service (SAS). SAS dan tentara Indonesia pernah bertempur di hutan Kalimantan dan menewaskan banyak sekali pasukan dari kedua belah pihak. (Kusmayadi, 2017).

Malaysia merasa Indonesia sudah masuk terlalu jauh ke dalam urusan dalam negerinya, dan mendesak PBB untuk memberi tindakan tegas kepada Indonesia. Untuk menyelesaikan masalah ini, PBB mengusulkan adanya perundingan dan menunjuk Thailand sebagai tempat diselenggarakannya perundingan. Malaysia meminta Indonesia untuk mengakhiri konfrontasi dan menarik mundur pasukan dari wilayahnya. Indonesia menyetujui syarat tersebut, tapi selama perundingan belum mencapai final, Indonesia masih akan tetap mengirim makanan kepada pasukannya di perbatasan. Tapi Malaysia menolak usulan tersebut, dan membuat situasi kembali memanas.

November 1964, Inggris mengusahakan supaya Malaysia bisa bergabung menjadi anggota PBB. Hal itu membuat Sukarno geram, isi pidatonya pada 31 Desember 1964 menyatakan bahwa jika PBB mengabulkan keinginan Malaysia untuk bergabung, maka Indonesia tidak akan segan untuk keluar dari PBB. Tapi beberapa hari kemudian, tepat pada 7 Januari 1965, Malaysia dinyatakan masuk menjadi anggota PBB. Keputusan tersebut membuat Indonesia secara resmi melayangkan surat pengunduran diri  pada 20 Januari 1965. Sejak saat itu, Indonesia menolak segala bentuk hubungan diplomatik dengan negara-negara anggota PBB.

Setelah beberapa tahun melakukan operasi militer, pasukan Indonesia sedikit demi sedikit mulai mengalami kegagalan. Salah satu kegagalan terbesar adalah ditangkapnya 2 tentara Indonesia (Kopral KKO Usman dan Kopral KKO Harun), karena dianggap melakukan sabotase pengeboman di Hotel McDonald Singapura. Kedua perwira Indonesia ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Singapura.

Tahun 1965 merupakan tahun yang cukup berat bagi bangsa Indonesia, belum selesai masalah konfrontasinya dengan Malaysia, masalah dalam negeri mulai muncul. Pemberontakan PKI memanas dan puncaknya adalah peristiwa G30S/PKI yang mengakibatkan gugurnya beberapa perwira tinggi Angkatan Darat. Perekonomian Indonesia dan Malaysia yang sudah mulai tidak baik membuat kedua negara saling memikirkan jalur perdamaian.

Berakhirnya Konfrontasi

Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin meresahkan membuat Indonesia perlahan mengurangi konfrontasinya. 28 Mei 1966, sebuah Konferensi diadakan di Bangkok, Thailand. Disana, Indonesia dan Malaysia melakukan penjanjian perdamaian. Sebuah piagam perdamaian yang diberi nama "Agreement to Normalise Relations between Malaysia and the Republic of Indonesia" resmi ditandatangani oleh Tun Abdul Razak (Malaysia) dan Adam Malik (Indonesia) pada 11 Agustus 1966. Sejak saat itu, Operasi Dwikora berakhir.

Tahun 1966 juga menjadi tahun terakhir pemerintahan Presiden Sukarno. Pemulihan hubungan kedua negara digantikan oleh Presiden Suharto. Ia menganggap bahwa konfrontasi ini tidak ada manfaatnya bagi Indonesia. Untuk memudahkan pemulihan hubungan diplomasi, Indonesia kembali masuk menjadi anggota PBB.

Indonesia dan Filipina yang awalnya menentang keras, akhirnya mengakui Sabah dan Serawak sebagai bagian dari Malaysia. Hubungan Indonesia dan Malaysia semakin membaik dengan dibentuknya organisasi kerjasama antar negara-negara Asia Tenggara, yang dikenal dengan nama ASEAN pada 8 Agustus 1967.


Sumber:

  1. Kusmayadi, Yadi. 2017. Politik Luar Negeri Republik Indonesia Pada Masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia Tahun 1963-1966, dalam https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/artefak/article/view/732
  2. Irshanto, Andre Bagus. 2019. Dari Konfrontasi Ke Perdamaian (Hubungan Indonesia-Malaysia Tahun 1963-1966), dalam https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/criksetra/article/download/9243/4979
  3. Ajingga, Deshinta Nindya. 2016. Peranan Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Operasi Ganyang Malaysia di Kalimantan Tahun 1964-1966, dalam https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/55683/MjQ3MDA1/Peranan-angkatan-udara-Republik-Indonesia-dalam-operasi-ganyang-Malaysia-di-Kalimantan-tahun-1964-1966-2.pdf
  4. Irshanto, Andre Bagus, dkk. 2020. Materi Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966 Perspektif Buku Teks Sejarah Indonesia dan Malaysia, dalam http://repository.upi.edu/49751/1/T_SEJ_1706552_Title.pdf
  5. Nino Oktorino. 2020. Nusantara Membara "Operasi Dwikora" Sebuah Perang Terlupakan di Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Posting Komentar

0 Komentar