Perjuangan Frans Kaisiepo Dalam Pembebasan Irian Barat

Tidak hanya menyajikan keindahan alam yang luar biasa, Bumi Cendrawasih juga memiliki banyak orang-orang hebat yang rela berjuang demi tanah air tercinta. Salah satunya adalah Frans Kaisiepo, putra asli Papua yang sejak Desember 2016 wajahnya resmi tercetak di lembaran uang pecahan 10 ribu rupiah. Frans mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk perjuangan. Salah satu perjuangannya yang terbesar adalah membantu Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.



Masa Kecil Frans Kaisiepo

Frans Kaisiepo lahir di Biak, Papua pada 10 Oktober 1921. Ayahnya adalah seorang kepala suku di Biak, sementara ibunya sudah lebih dulu wafat saat Frans masih berusia 2 tahun. Frans sangat beruntung karena bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak. Tahun 1928, Frans kecil masuk ke Sekolah Rakyat dan berhasil lulus pada tahun 1931. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, Frans melanjutkan pendidikan ke LVVS Korido dan lulus pada 1934. Karena tidak ingin membuang masa mudanya, Frans kemudian kembali melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru di Manokwari, Papua Barat. (Tabrani, 2015).

Masa yang Mengubah Pemikiran

Menurut Krisdiantoro dalam Frans Kaisiepo: Pejuang Pembebasan yang Berasal dari Tanah Papua (2017), “Pada 1 Januari 1945 Belanda sengaja mendirikan Bestuurschool atau Sekolah Pamong Praja yang bertujuan untuk mencari pemuda-pemuda yang nantinya akan dijadikan polisi dan bisa diperkerjakan untuk pemerintahan Belanda. Sekolah ini dibangun di Hollandia (sekarang Jayapura).”

Setelah lulus dari Sekolah Guru Normalis di Manokwari, Frans ikut bergabung di Sekolah Pamong Praja. Di sekolah itu, Frans mengenal Soegoro Atmoprasodjo. Soegoro adalah seorang guru sekaligus aktivis dari Partai Indonesia (Partindo). Ia sempat merasakan masa pembuangan dan pengasingan di Boven Digul pada tahun 1935, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda. Setelah dibebaskan, ia ditunjuk menjadi guru karena saat itu pemerintah Belanda kekurangan tenaga pengajar.

Walaupun menjadi guru di sekolah bentukan kolonial Belanda, hati dan jiwa Soegoro tetap setia pada Indonesia. Soegoro banyak memberikan pengetahuan mengenai semangat nasionalisme, sejarah perjuangan, dan mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya kepada para muridnya. Selain itu, Soegoro juga membentuk kelompok diskusi politik. Di dalam diskusi ini, Soegoro memberi keyakinan kepada murid-muridnya bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia, walaupun saat itu belum ada informasi apapun mengenai kemerdekaan Indonesia.

Pengetahuan dan pengajaran mengenai nasionalisme yang diajarkan oleh Soegoro Atmoprasodjo ini menggerakan hati pemuda-pemuda papua, termasuk juga Frans Kaisiepo. Pada 14 Agustus 1945, Frans Kaisiepo bersama Marcus Kaisiepo, Nocolas Youwe, dan teman-temannya yang lain berkumpul di Kampung Harapan Jayapura dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. (Krisdiantoro, 2017).

Perjuangan Demi Tanah Kelahiran

17 Agustus 1945, Proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil dikumandangkan. Namun berita kemerdekaan ini terlambat tersebar karena sulitnya akses komunikasi. Wilayah Papua baru mendapat kabar pada 31 Agustus 1945. Segera setelah itu, Frans Kaisiepo mengajak teman-temannya dan seluruh rakyat Biak untuk berkumpul. Mereka melaksanakan upacara pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh rasa bangga.

Satu tahun kemudian, atau tepatnya pada 15 sampai 25 Juli 1946, diadakan Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Konferensi ini bertujuan untuk membentuk negara-negara bagian (federasi) di wilayah Indonesia, khususnya Indonesia Timur. Papua diwakili oleh Frans Kaisiepo yang saat itu masih berusia 25 tahun. Dalam Konferensi tersebut, Belanda (NICA) berniat untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), namun Frans menentang keras hal itu dan membuat Negara Indonesia Timur hanya terdiri dari Sulawesi, Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara), dan Maluku. Sementara Frans bersama Papua tetap ingin menjadi bagian dari Indonesia.

Selain menentang adanya pembentukan Negara Indonesia Timur, Frans juga mengupayakan untuk mengubah nama Papua menjadi Irian. Arti Irian sendiri adalah "Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands". Namun tidak ada yang menyetujui dan mendukung usulan perubahan nama tersebut. Belanda malah memberikan nama “Nederlands Nieuw Guinea” untuk menyebut Papua. Karena Frans tidak mau menuruti hasil dari Konferensi Malino, maka sejak saat itu, wilayah Papua tidak lagi memiliki wakil dalam konferensi-konferensi selanjutnya.

Saat Konferensi Meja Bundar akan diadakan di Den Haag Belanda pada tahun 1949, Frans ditunjuk menjadi ketua delegasi untuk wilayah Nederlands Nieuw Guinea, namun Frans menolak. Hal itu membuatnya harus diasingkan dan dipekerjakan ke desa-desa terpencil yang ada di Papua.

Konferensi Meja Bundar yang diharapkan akan membawa hasil yang baik justru malah sebaliknya. Pemerintah kolonial Belanda yang sudah memberikan kedaulatan penuh kepada Indonesia, tidak mau melepaskan wilayah Papua barat. Belanda menilai bahwa Papua Barat sudah berbeda etnis dengan kebanyakan wilayah di Indonesia dan ingin menjadikan Papua Barat sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Hal ini membuat status Papua Barat menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan status wilayah ini membuat Frans terus menyuarakan keinginanya untuk bergabung dengan Indonesia, dan membuatnya dipenjara pada tahun 1954-1961.

Frans Kaisiepo: Dari Papua untuk Indonesia

Pada 2 Januari 1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandala yang akan ditugaskan untuk Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat). Operasi Trikora ini dibentuk setahun sebelumnya pada 19 Desember 1961, yang bertujuan untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua Barat dengan Indonesia. Frans Kaisiepo kemudian ikut turun langsung dalam memberikan bantuan berupa perlindungan dan material kepada para pejuang dan sukarelawan yang berhasil menyusup ke Papua Barat. Operasi ini akhirnya sukses dan membuat pemerintah Belanda terpaksa kembali melakukan diplomasi. (Raminten, 2020).

Tahun 1964, Frans Kaisiepo diangkat menjadi Gubernur Papua. Setelah banyaknya diskusi, akhirnya PBB memutuskan untuk mengadakan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang bertujuan untuk menentukan apakah Papua Barat akan menjadi bagian dari Indonesia atau bagian dari Belanda. Disinilah peran Frans menjadi sangat berpengaruh. Frans sebagai Gubernur banyak melakukan kampanye ke daerah-daerah di wilayah Papua. PEPERA diadakan pada 24 Juli sampai Agustus 1969.

Hasil Pepera kemudian dibawa ke sidang umum PBB. Dari 8 kabupaten yang ada di Irian Barat, suara mayoritas mutlak memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Sidang umum PBB menerima dan menyetujui hasil tersebut. Akhirnya, melalui Resolusi No. 2504 tanggal 19 November 1969, Irian Barat resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia. Berkat jasanya dalam membantu merebut Irian Barat, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Trikora dan Pepera kepada Frans Kaisiepo.

Setelah tidak menjadi Gubernur, Frans pindah ke Jakarta dan menjadi Pegawai di Kementerian Dalam Negeri. Frans juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1973–1979. Frans Kaisiepo wafat di Jakarta pada 10 april 1979. Setelah 14 tahun kepergiannya, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Frans, tepatnya pada 14 September 1993. (Said & Wulandari, 1995).


Sumber:

  1. Krisdiantoro. 2017. Frans Kaisiepo: Pejuang Pembebasan yang Berani dari Tanah Papua. Jakarta: Bee Media Pustaka.
  2. Hardiyanti, Raminten. 2020. Perjuangan Frans Kaisiepo Dalam Pembebasan Irian Barat 1949-1969, dalam https://repository.unja.ac.id/13404/
  3. Said Julinar, Wulandari Triana. 1995. Ensiklopedia Pahlawan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
  4. Tabrani, S. 2015. Sejarah Lengkap Pahlawan Indonesia. Jakarta: Bintang Indonesia Jakarta.
  5. Riyadhie, Dhodie Mulya. 2013. Kontroversi Penyatuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat Tahun 1969, dalam http://repository.upi.edu/125/4/S_SEJ_0605711_CHAPTER1.pdf

.


Posting Komentar

2 Komentar

  1. Salah satu sosok pejuang asal papua, yang perlu di acungi jempol terbaik. Tapi miris pas waktu uang pecahan 10rb diedarin dan menggunakan foto beliau, beliau malah dicemooh dan masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tau juga tentang kisah beliau dalam mempersatukan irian barat dengan Indonesia. Padahal beliau ini, juga menjadi salah satu orang pertama yang ngibarin bendera merah putih dan nyanyi lagu indonesia raya juga di tanah papua. Btw, saya suka baca sejarah disini, penjelasannya menarik dan ngasih saya wawasan juga. Makasih thor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miris emang ngeliat anak-anak zaman sekarang yang masih suka mencemooh gambar-gambar pahlawan di uang kertas. PR kita masih sangat banyak, salah satunya ya memberikan edukasi ke orang-orang awam yang belum paham apapun mengenai pahlawan dan sejarah Indonesia.
      Makasih udah meluangkan waktu untuk baca dan kasih komentar disini. Semoga bisa bermanfaat. Tunggu artikel berikutnya yaa ^^

      Hapus